Berpikir Kombinatorik
Dalam era globalisasi dewasa ini, tantangan peningkatan mutu dalam berbagai aspek kehidupan tidak dapat ditawar lagi. Pesatnya perkembangan iptek dan tekanan globalisasi yang menghapuskan tapal batas antarnegara, mempersyaratkan setiap bangsa untuk mengerahkan pikiran dan seluruh potensi sumber daya yang dimilikinya untuk bisa tetap bertahan dan dapat memenangkan persaingan dalam perebutan pemanfaatan kesempatan dalam berbagai sisi kehidupan. Ini berarti perlu adanya peningkatan sikap kompetitif secara sistematik dan berkelanjutan terhadap suber daya manusia (SDM) melalui pendidikan dan pelatihan. Oleh karena itu, pendidikan dewasa ini harus diarahkan pada peningkatan daya saing bangsa agar mampu berkompetisi dalam persaingan global. Hal ini bisa tercapai jika pendidikan di sekolah diarahkan tidak semata-mata pada penguasaan dan pemahaman konsep-konsep ilmiah, tetapi juga pada peningkatan kemampuan dan keterampilan beripikir siswa, khususnya keterampilan berpikir tingkat tinggi yaitu keterampilan berpikir kristis. Artinya, guru perlu mengajarkan siswanya untuk belajar berpikir.
Kehidupan
dalam era globalisasi dipenuhi oleh kompetisi-kompetisi yang sangat ketat.
Keunggulan dalam berkompetisi terletak pada kemampuan dalam mencari dan
menggunakan informasi, kemampuan analitis-kritis, keakuratan dalam pengambilan
keputusan, dan tindakan yang proaktif dalam memanfaatkan peluang-peluang yang
ada. Oleh karena itu, maka kemampuan berpikir formal siswa yang mencakup
kemampuan berpikir hipotetik-deduktif, kemampuan berpikir proporsional,
kemampuan berpikir kombinatorial, dan kemampuan berpikir reflektif sebagai
kemampuan berpikir dasar, perlu dijadikan sebagai substansi yang harus digarap
secara serius dalam dunia pendidikan. Kemampuan berpikir dasar ini harus terus
dikembangkan menuju kemampuan dan keterampilan berpikir kritis. Berpikir kritis
merupakan topik yang penting dan vital dalam era pendidikan modern. Tujuan
khusus pembelajaran berpikir kritis dalam pendidikan sains maupun disiplin yang
lain adalah untuk meningkatkan keterampilan berpikir siswa dan sekaligus
menyiapkan mereka agar sukses dalam menjalani kehidupannya. Dengan dimilikinya
kemampuan berpikir kritis yang tinggi oleh siswa SMP dan SMA maka mereka akan
dapat mencapai standar kompetensi yang telah ditetapkan dalam kurikulum atau
yang akan dicapai dalam proses pembelajaran, serta mereka akan mampu merancang
dan mengarungi kehidupannya pada masa datang yang penuh dengan tantangan,
persaingan, dan ketidakpastian.
Singkatnya,
oleh karena berpikir kritis merupakan topik yang penting dan vital dalam
pendidikan modern, maka semua pendidik semestinya tertarik untuk mengajarkan
berpikir kritis kepada para siswanya. Para pakar dan instruktur pendidikan
diharapkan terlibat secara intensif dalam merencanakan strategi pembelajaran
keterampilan berpikir kritis. Tujuan khusus pembelajaran berpikir kritis dalam
pengajaran sains atau dalam bidang studi lainnya adalah untuk meningkatkan
keterampilan berpikir siswa dan sekaligus menyiapkan para siswa mengarungi
kehidupannya sehari-hari.
Lebih
lanjut, berpikir kritis dimaksudkan sebagai berpikir yang benar dalam pencarian
pengetahuan yang relevan dan reliabel tentang dunia realita. Seseorang yang
berpikir secara kritis mampu mengajukan pertanyaan yang cocok, mengumpulkan
informasi yang relevan, bertindak secara efisien dan kreatif berdasarkan
informasi, dapat mengemukakan argumen yang logis berdasarkan informasi, dan
dapat mengambil simpulan yang dapat dipercaya. Berpikir kritis merupakan
aktivitas mental dalam mengevaluasi suatu argumen atau proposisi dan membuat
keputusan yang dapat menuntun diri seseorang dalam mengembangkan kepercayaan
dan melakukan tindakan. Ada hubungan yang sangat erat antara keterampilan
berpikir kritis dan metode ilmiah. Karena itu, keterampilan berpikir kritis
dapat dikembangkan melalui pembelajaran yang berorientasi pada metode ilmiah.
Berpikir
kritis tidak dapat diajarkan melalui metode ceramah, karena berpikir kritis
merupakan proses aktif. Keterampilan intelektual dari berpikir kritis mencakup
berpikir analisis, berpikir sintesis, berpikir reflektif, dan sebagainya harus
dipelajari melalui aktualisasi penampilan (performance). Berpikir kritis dapat
diajarkan melalui kegiatan laboratorium, inkuiri, pekerjaan rumah yang
menyajikan berbagai kesempatan untuk menggugah berpikir kritis, dan ujian yang
dirancang untuk mempromosikan keterampilan berpikir kritis.
Untuk
mengembangkan kemampuan dan keterampilan berpikir kritis siswa dalam proses
pembelajaran perlu dilakukan strategi-strategi sebagai berikut. Pertama,
menyeimbangkan antara konten dan proses, dalam penyajian materi pelajaran agar
diseimbangkan antara konten dan proses. Dalam pelajaran sains, harus seimbang
antara sains sebagai produk (penyajian fakta, konsep, prinsip, hukum, dsb) dan
sains sebagai proses (keterampilan proses sains), seperti mengobsevasi
kejadian, merumuskan masalah, berhipotesis, mengukur, menyimpulkan, dan
mengontrol variabel. Kedua, seimbangkan antara ceramah (lecture) dan diskusi
(interaction), teori belajar Piaget menekankan bahwa pentingnya transmisi
sosial dalam mengembangkan struktur mental yang baru. Ketiga, ciptakan diskusi
kelas, guru sebaiknya memulai presentasi dengan ”pertanyaan” Ajukan pertanyaan
yang dapat mengkreasi suasana antisipasi dan inkuiri. Lima kunci untuk menciptakan
atau mengkreasi suasana kelas yang interaktif, yaitu (1) mulai setiap
pembelajaran dengan masalah atau kontroversi; (2) gunakan keheningan untuk
membangkitkan refleksi; (3) atur ruang kelas untuk membangkitkan interaksi
dalam pembelajaran; (4) Jika mungkin, perpanjang waktu pembelajaran (extend
class time). Berpikir kritis akan terjadi jika siswa memiliki waktu yang tepat
untuk sampai pada refleksi; dan (5) ciptakan lingkungan belajar yang nyaman.
Berdasarkan
strategi-strategi pengembangan keterampilan berpikir kritis dan lima kunci
dalam menciptakan atau mengkreasi suasana belajar yang interaktif, maka
model-model pembelajaran yang tampaknya sesuai untuk diterapkan dalam proses
pembelajaran dalam upaya mempromosikan keterampilan berpikir kritis siswa
antara lain (1) Pembelajaran berbasis masalah; (2) Pembelajaran kontekstual;
(3) Siklus belajar; dan (4) Model pembelajaran sains-teknologi-masyarakat.
Model-model pembelajaran ini akan memberi pengalaman belajar kepada siswa dalam
mengembangkan keterampilan berpikir kritisnya.
Model
siklus belajar (learning cycle model) merupakan suatu strategi pembelajaran
yang berbasis pada paham konstruktivisme dalam belajar, dengan asumsi dasar
bahwa “pengetahuan dibangun di dalam pikiran pebelajar”. Dasar pemikiran para
konstruktivis adalah bahwa proses pembelajaran yang efektif menghendaki agar
guru mengetahui bagaimana para siswa memandang fakta dan fenomena yang menjadi
subjek pembelajaran.
Model
siklus belajar (learning cycle model) terdiri atas tiga fase aktivitas belajar
yang dapat digunakan untuk memotivasi siswa dalam memahami gejala – gejala alam
yang kompleks melalui pengalaman langsung. Melalui model siklus belajar para
siswa akan memperoleh kesempatan untuk memberi penjelasan dan mengemukakan
argumentasinya, melakukan interprestasi, dan memperbaiki gagasannya.
Fase –
fase aktivitas belajar dalam model siklus belajar adalah (1) fase eksplorasi,
(2) fase pengenalan konsep, dan (3) fase aplikasi konsep.
Pembelajaran
berbasis masalah dirancang dalam suatu prosedur pembelajaran yang diawali
dengan sebuah masalah dan menggunakan instruktur sebagai pelatih metakognitif.
Ada enam tahapan proses pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut. (1)
Mulai dengan penyajian masalah; (2) Masalah hendak-nya berkaitan dengan dunia
siswa (masalah riil); (3) Organisasi materi pembelajaran sesuai dengan masalah;
(4) Memberi siswa tanggung jawab utama untuk membentuk dan mengarahkan
pembelajarannya sendiri; (5) Menggunakan kelompok-kelompok kecil dalam proses
pembelajaran; dan (6) Menuntut siswa untuk menampilkan apa yang telah mereka
pelajari. Beberapa karakteristik problem based learning, yakni (1) Proses
pembelajaran bersifat Student-Centered; (2) Proses pembelajaran berlasung dalam
kelompok kecil; (3) Guru berperan sebagai fasilitator atau pembimbing; (4)
Permasalahan-permasalahan yang disajikan dalam setting pembelajaran
diorganisasi dalam bentuk dan fokus tertentu dan merupakan stimulus
pembelajaran; (5) Informasi baru diperoleh melalui belajar secara mandiri
(Self-directed learning); dan (6) Masalah (problems) merupakan wahana untuk
mengembangkan keterampilan pemecahan masalah klinik.