PAPA MINTA PULSA

PAPA MINTA PULSA 
Oleh Wisudho Harsanto
papa-minta-pulsa
Era 90an pertengahan saya takjub sama fasilitas telekom yang diberikan perusahaan. Pegang handset cellphone merk M jaman itu benar2 simbol status. Ritual buka penutup keypad (dan narik antena) dinikmati betul. Sok narsis, berada ditengah kerumunan pamer ber-cellphone. Abis nelpon, di clip-on di ikat pinggang. Biar orang lain bisa memandang. Berdasi, kemeja putih lengan panjang dan pantalon licin sepatu berkilau. Gaya lah yaw. 
Lalu pindah kerja. Fasilitas telekom serupa. Saya tolak. Lewat adu debat syarat dan ketentuan. Handset dan nomor dinas sih fasilitas. Tapi aturan berkomunikasinya enggak berkelas. Masak harus selalu standby siaga jika diperlukan? Siapa yang nentukan perlu gak perlu? Kalo emergency ayo saja. Dari pengalaman terdahulu, nampak bergaya, tapi terpenjara. Alot debatnya. Sepakat dipending. Bayar pulsanya aja mending. Agree untuk melototi detail tagihan. Ternyata 75% tagihan meroket untuk dinas. Teken kontrak reimburse. Membangun adab nelpon after office. Zaman kekunoan. Zaman kekinian. Hape dan pulsa itu sembako. Komoditas sejuta umat untuk hidup serba cepat. Pekerjaan2 commuting dan mobilitas. Jam kerja makin gak kenal batas. Smartphone jadi barang biasa. Paket bawaan pekerja. Aturan ongkosnya entah gimana. Kini pada WFH. Semua konektifitas perlu biaya. Tinggal pertanyaannya, biaya data dan pulsa beban siapa ? Bagaimana misahin ongkos untuk pribadi dan kerja? Zaman daya beli merosot, urusan biaya ini bisa alot. Nah, sekarang papa minta pulsa. Gimana urusannya?
close