*LAYANGAN PUTUS*
Oleh : Gus Uwik
(Peneliti Pusat Kajian Peradaban Islam)
"Layangan putus" jadi fenomena. Sinetron yang bisa jadi cermin sekuel kehidupan bagi sebagian orang. Entah gunung es atau sekedar "secuil" buliran beras diantara tumpukan karung beras di gudang. Kecil lagi sedikit. Namun, kemunculannya menjadi fenomena.
Layangan putus mampu mengeksploitasi perasaan "kaum hawa" yang "terdzolimi" oleh sikap "oknum" suami. Sedemikian eksploitasinya sehingga nampak mengharu-biru kisah sedihnya. Inilah sisi "keberhasilan" sinetron tersebut. Dramanya membuat semua terpukau dan hanyut dalam iba dan lara.
"Layangan putus" versi drama keluarga mampu disuguhkan secara apik dan mengharukan dalam sinetron. Kehadiran sequel selanjutnyapun sangat di tunggu-tunggu.
Mungkinkah "kisah" Layangan putus lingkup negara akan disinetronkan? Seharusnya bisa. Bisa jadi akan lebih mengharu-biru. Bukan hanya menguras air mata hingga kering, kemungkinan juga akan menguras emosi hingga ketitik paling dalam.
Kisah layangan putus terpersonalisasi oleh negara yang mendzolimi rakyatnya sendiri. Selingkuh dengan para oligark.
"Semua rakyat terjamin semua kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanannya. It's my dream penguasa. Bukan impian ologarki. Kenapa itu semua engkau berikan kepada oligark? Terlalu kamu penguasa..."
"Ini siapa? Nama-nama ini engkau kasih karpet merah ketika krisis. Mereka justru ngemplang dalam kasus BLBI. Ini siapa yang tercatat dalam kasus mega korupsi Jiwasraya, Asabri, dll. Mereka kamu kasih duit buat foya-foya. Terlalu kamu penguasa..."
Engkau membuat kebijakan dan aturan sehingga para oligark mampu menguasai asset tanah hingga sumber daya alam strategis. Mereka leluasa mengeruk keuntungan dari tambang emas, batu bara, minyak, gas bumi, nikel, hutan, laut, dll. UU Omnibus law Cipta Kerja buktinya.
Sedangkan untuk rakyat engkau malah bebani dengan palakan pajak hampir di semua sektor. Kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat di tahun 2022 pada melonjak. Mulai listrik, gas, dan sembako. Sungguh, rakyat semakin sengsara. Oligark semakin berfoya-foya.
Rakyat kecil engkau khianati. Seperti layangan putus. Engkau biarkan di pojok rumah sendirian. Berjuang untuk menghidupi kehidupannya sendiri dengan potensi yang dimilikinya. Berjibaki dengan peluh dan lelah.
Namun engkau asik "berselingkuh" dengan oligark. Engkau makan siang bersama. Jalan-jalan bersama. Ke tempat wisata yang engkau janjian kepada rakyat. Yang ujungnya engkau justru menyerahkan semua penghasilan dan asset kepada oligark.
Jika kisah layangan putus negara dengan rakyatnya jadi sinetron, tentu akan lebih meledak. Karena kisahnya hampir semua merasakan. Bukan hanya mengeksploitasi perasaan emak-amak, tapi juga semua kaum adam.
Akankah rakyat sadar jika selama ini sudah seperti layangan putus oleh penguasanya? Sungguh terlalu jika rakyat tidak merasa. Dan sungguh-sungguh terlalu kepada penguasa yang lihai dan licin menyembunyikan perilaku "layangan putus"nya sehingga rakyat tidak sadar dan tahu atas kedzoliman penguasanya. Sadarlah wahai rakyat...