Sejarah Pendidikan Islam Orde Lama

Sejarah Pendidikan Islam Orde Lama|islam orde lama, pendidikan islam orde lama, sejarah islam
Sejarah Pendidikan Islam 
pada Masa Orde Lama
Sejarah-Pendidikan-Islam-Orde-Lama
Sejarah-Pendidikan-Islam-Orde-Lama

Pada tanggal 18 Agustus 1945, ditetapkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dari Pancasila. Sila pertama itu adalah merupakan perwujudan dari sikap hidup yang religius, maka setelah Indonesia merdeka, penyelenggaraan pendidikan agama mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik dari sekolah Negeri maupun suasta. Diantara beberapa peristiwa yang menjadi tonggak sejarah pendidikan Islam di Indonesia diantaranya adalah Madrasah dan Pesantren yang senantiasa terus berjalan dengan didukung oleh kemampuan para pengasuh dan pendukungnya.Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga tersebut sebagaimana yang dilanjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) tanggal 27 Desember 1945 yang menyebutkan bahwa, “Madrasah dan Pesantren yang pada hakikatnya adalah suatu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan nyata berupa tuntunan dan bantuan materil dari pemerintah.”

Meskipun Indonesia baru memproklamirkan kemerdekaannya dan tengah menghadapi revolusi fisik, pemerintah Indonesia sudah berbenah diri terutama memperhatikan masalah pendidikan yang dianggap cukup vital dalam menentukan kemajuan suatu bangsa. Untuk itu dibentuklah Kementrian Pendidikan Pengajaran Pendidikan (PP dan K). Dengan terbentuknya Kementrian Pendidikan tersebut maka diadakanlah berbagai usaha, terutama mengubah sistem pendidikan dan menyesuaikannya dengan keadaan yang baru.
Pendidikan Agama diatur secara khusus dalam UU Nomor 4 tahun 1950 pada bab XII Pasal 20, yaitu : a. Di sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama. 
b. Cara penyelenggaraan pelajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama.

Kementrian Agama juga telah merencanakan rencana-rencana program pendidikan yang akan dilaksanakan dengan menunjukkan jenis-jenis pendidikan serta pengajaran Islam sebagai berikut :

1. Pesantren klasik, yaitu semacam sekolah swasta keagamaan yang menyediakan asrama, yang sejauh mungkin memberikan pendidikan yang bersifat pribadi, sebelumnya terbatas pada pengajaran keagamaan serta pelaksanaan ibadah. 
2. Madrasah diniyah, yaitu sekolah-sekolah yang memberikan pengajaran tambahan bagi murid sekolah negeri yang berusia 7 sampai 20 tahun. 
 3. Madrasah-madrasah swasta, yaitu pesantren yang dikelola secara modern, yang bersamaan dengan pengajaran agama juga diberikan pelajaran-pelajaran umum. 
 4. Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), yaitu sekolah dasar negeri enam tahun, di mana perbandingan umum kira-kira 1:2. 
 5. Suatu percobaan baru telah ditambahkan pada Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 6 tahun, dengan menambahkan kursus selama 2 tahun, yang memberikan latihan ketrampilan sederhana. 
6. Pendidikan teologi agama tertinggi. Pada tingkat universitas, pendidikan agama diberikan sejak tahun 1960 pada IAIN. IAIN ini dimulai dengan dua bagian / dua fakultas di Yogyakarta dan dua fakultas di Jakarta.

Pada tahun 1950 ketika kedaulatan Indonesia telah pulih untuk seluruh wilayah Indonesia, kebijakan mengenaipendidikan Islam semakin disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin oleh Prof. Mahmud Yunus dari departemen agama dan Mr. Hadi dari departemen P & K. Hasil dari panitia itu adalah SKB yang dikeluarkan pada bulan Januari 1951. 

Isi dari SKB dua menteri tersebut adalah: 
a) Pendidikan agama diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat (SR). 
b) Di daerah yang masyarakat agamanya kuat (misalnya di Sumatra, Kalimantan dan lainnya), maka pendidikan agama diberikan mulai kelas I SR dengan catatan bahwa mutu pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya diberikan mulai kelas IV. 
c) Di sekolah lanjutan tingkat pertama dan tingkat atas (umum dan kejuruan) diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam seminggu. 
d) Pendidikan agama diberikan kepada siswa minimal 10 orang dalam 1 kelas dan mendapat izin dari orang tua atau wali. 
e) Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama dan materi pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama. 

Kaitannya dengan bidang pendidikan Agama, Zuhairini dkk, menuliskan tentang pernyataan panitia yang mengatakan bahwa : 
1. Hendaknya pelajaran Agama diberikan pada semua sekolah, dimulai dari sekolah Rakyat (SR) kelas 4. 
2. Agama disediakan oleh Kementrian Agama dibayar oleh pemerintah. 
3. Guru Agama diharuskan mempunyai pengetahuan umum dan untuk itu harus ada Pendidikan Guru Agama. 
4. Pondok Pasantren dan Madrasah harus dipertinggi mutunya. 
5. Tidak perlu berbahasa Arab.

Berdasarkan usulan tersebut, maka Pendidikan Agama dapat diberikan disekolah-sekolah Negeri, dengan syarat diminta sekurang-kurangnya 10 orang siswa. Pelaksanaan pendidikan sepenuhnya diserahkan kepada Kementrian Agama. Setelah Departemen Agama (Depag) berdiri pada tanggal 3 Januari 1946, penyelenggaraan Pendidikan Agama pada sekolah-sekolah umum Negeri dan pengurusan sekolah-sekolah Agama berada dibawah tanggung jawab Depag. Di beberapa lembaga Pendidikan Madrasah dimasukan 7 materi pengajaran umum yaitu; membaca dan menulis huruf latin,berhitung, ilmu bumi, ilmu hayat, sejarah, bahasa Indonesia dan olah raga. Upaya lain yang dilakukan Depag RI yaitu menetapkan Masyarakat Wajib Belajar (MWB), yang diperkenalkan pada tahun1958-1959. Tujuan MWB ini diarahkan kepada pengembangan jiwa bangsa, yaitu kemajuan di bidang ekonomi, industri dan transmigrasi dengan kurikulum yang menyelaraskan tiga perkembangan yaitu perkembangan otak, hati dan keterampilan tangan. Masa belajar ditetapkan 8 tahun dengan pertimbangan di harapkan agar anak berusia 15 tahun telah lulus dari MWB sesuai dengan aturan perburuhan.Ada satu hal penting yang berkaitan dengan perkembangan pendidikan Islam pada masa orde lama yaitu pengembangan dan pembinaan madrasah.

Mempelajari perkembangan madrasah terkait erat dengan peran Departemen Agama sebagai andalan politis yang dapat mengangkat posisi madrasah sehingga memperoleh perhatian yang terus menerus dari kalangan pengambil kebijakan.Tentunya, tidak juga melupakan usaha-usaha keras yang sudah dirintis oleh sejumlah tokoh seperti Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari dan Mahmud Yunus.Dalam hal ini, Departemen Agama secara lebih tajam mengembangkan program-program perluasan dan peningkatan mutu madrasah. Madrasah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan diakui oleh negara secara formal pada tahun 1950. Undang-Undang No. 4 1950 tentang dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah pasal 10 menyatakan bahwa belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan Departemen Agama, sudah dianggap memenuhi kewajiban belajar. Untuk mendapat pengakuan dari Departemen Agama, madrasah harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling sedikit enam jam seminggu secara teratur disamping mata pelajaran umum.

Dengan persyaratan tersebut, diadakan pendaftaran madrasah yang memenuhi syarat. Pada tahun 1954, madrasah yang terdaftar di seluruh Indonesia berjumlah 13.849 dengan rincian Madrasah Ibtidaiyah 1057 dengan jumlah murid 1.927.777 orang, Madrasah Tsanawiyah 776 buah dengan murid 87.932 orang, dan Madrasah Tsanawiyah Atas (Aliyah) berjumlah 16 buah dengan murid 1.881 orang. Perkembangan madrasah yang cukup penting pada masa orde lama adalah berdirinya Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim IslamNegeri (PHIN) yang bertujuan untuk mencetak tenaga-tenaga profesional yang siap mengembangkan madrasah sekaligus ahli dalam bidang keagamaan.

close