Cerpen Sepuluh Hari Sebelum Pergi

SEPULUH HARI SEBELUM PERGI

Malam itu, aku lihat Bulik sedang duduk sendiri di halaman belakang rumah. Wajahnya nampak sedih, sesekali air mata jatuh, dan dibiarkan mengering. Aku yang sejak bayi telah beliau rawat, amat sangat tak tega, melihat wanita yang sudah kuanggap 'Ibu', menangis. "Lik, kenapa?" Bulik terperanjat, mungkin kaget. "Kamu belum tidur, La?" tanya bulik membalikkan badan, duduk menghadapku. "Aku tadi nyariin bulik, pengen minta antar ke kamar mandi." "Yaudah, ayo!" ajak bulik, mendahuluiku masuk kedalam rumah. Aku masih penasaran, apa yang sebenarnya terjadi, kenapa beberapa hari ini, bulik terlihat murung. Jarang makan, dan gak mau mandi. "Lik, makan dulu, yuk?! Aku tadi pulang sekolah, mampir beli cecek kelapa." Tak ada jawaban, padahal itu adalah makanan favoritnya. Aku berinisiatif menyuapi bulik, lahap sekali makannya. Tak terasa, aku menangis, teringat masa kecilku dulu, saat disuapi oleh orang yang sekarang sedang aku suapi. 'Kenapa secepat ini? Apa bulik udah mulai pikun?' tanyaku dalam hati. Bulik punya anak laki-laki, tapi anak semata wayangnya itu meninggal tergilas truk, saat jadi anak punk. Aku dan Iwan, hanya berselisih lima tahun. Iwan dibesarkan tanpa seorang ayah, itu karena dulu, bulik diperk*sa oleh rekan kerjanya sendiri. Entah apa yang membuat Iwan tumbuh menjadi anak yang nakal, dia sering bolos sekolah sejak duduk di kelas empat, bahkan sekolahnya hanya sampai kelas enam saja. Iwan yang bulik harap bisa menjadi anak sholeh dan berguna, justru sering menyakiti hatinya. 
"Wan, kamu lanjut SMP, kasian mamahmu!" kataku saat dia baru saja lulus Sd. "Gak, mamah cuma buruh masak. Sekolah kan biayanya mahal, apalagi mamah pengen masukin gue, ke sekolah swasta." "Selama ini, apa yang kamu pengen juga dituruti kok! Kenapa kamu takut mamahmu gak sanggup?" "Kamu enak, mbak. Walaupun yatim-piatu, tapi ada yang biaya-in sekolah kamu sampai Smk." *** "Udah, la. Kenyang," kata bulik sambil menahan sendok yang kupegang. Kuletakkan piring di meja kayu usang, hanya tersisa dua sendok nasi saja. "Bulik, hari ini mau apa?" tanyaku. "Bulik pengen dibonceng sepeda sama kamu, kita main ke pabrik dulu bulik bekerja, ya," jawabnya bersemangat. Tak mungkin aku menolak, walaupun pabrik itu sudah lama tutup. 'Apapun, akan aku lakukan. Asal bulik senang.' 
Sudah dua jam, aku mengayuh sepeda, membonceng bulik yang terlihat begitu menikmati perjalanan, berkeliling mencari lokasi pabrik roti, tempat bulik bekerja dulu, untuk menghidupi aku dan Iwan. 'Sebenarnya aku lelah, kalau aja bulik mau dibonceng pake motor, dia maunya pake sepeda.' "Lik, pabriknya masih jauh?" tanyaku. "Kamu cape, ya, La? Bulik lupa dimana pabriknya," jawabnya. Mungkin benar, bulik udah mulai pikun. "La ... Berhenti, La. Berhenti!" teriak bulik. "Kenapa Lik?" "Itu pabriknya, ayo masuk!" Layaknya anak kecil yang diajak orang tuanya ke wahana bermain, bulik berlari dan berteriak. Sedih! Gerbang terkunci, banyak rumput liar yang tumbuh, dan bangunannya pun sudah banyak yang hancur. Tak ada security ataupun lapak pedagang kaki lima diarea pabrik ini. 'Jauh sekali lokasinya, pantas saja, dulu saat aku kecil, dititipkan ke tetangga, bulik berangkat kerja setelah adzan subuh.' Kubiarkan bulik bernostalgia dengan sejuta kenangannya di pabrik itu, dengan wajah sendu, tangan dan pipinya, Ia senderkan di gerbang tua yang reot. Sesekali dia tersenyum, memejamkan mata, dan .... "Aaahhhrrggg!" bulik berteriak histeris. Aku berlari dan memeluk bulik, tapi tubuhku di dorongnya, sampai aku terkapar. "Ayo, La, kita pulang," kata bulik, tanpa memperdulikan aku yang masih terkapar di tanah. Aku hanya bisa memakluminya, mungkin tiba-tiba saja, bulik teringat 'si kolor ijo! 
Belum hilang rasa pegal di kaki, aku harus mengayuh sepeda lagi menuju rumah. Selama perjalanan pulang, banyak drama yang bulik buat. Saat ada truk menyalip, bulik pasti akan berteriak, memaki sang supir. Tak heran, banyak orang yang memandang aneh kepada bulik. Sejak kejadian malam itu, bulik berubah. Padahal sebelumnya, bulik adalah orang yang tabah dan sabar. Sesampainya dirumah, bulik langsung berbaring dan tertidur. Aku harus cari sampingan pekerjaan, untuk biaya makan dan sekolah. Karena kondisi bulik udah gak mampu. "La ...." panggil bulik, saat aku sedang kebingungan, karena uang sudah habis. "Iya, Lik, kenapa? Bulik lapar?" tanyaku. "Enggak, bulik mimpi Iwan," jawabnya sambil tersenyum. "Mimpi apa, Lik?" tanyaku penasaran. Bulik bercerita, kalau Iwan mengeluh sakit di sekujur tubuhnya, Iwan meminta agar mamahnya mau mengantar pergi berobat. Sebelum pergi, Iwan mengajak mamahnya untuk masuk kedalam kamar Iwan. Kamar yang berukuran 2,5x1,5 itu, terlihat samar. Ada banyak kamar dengan ukuran yang sama disana. Ada yang kamarnya terang, ada juga yang gelap. 
Bulik juga bercerita, kalau disana Ia bertemu dengan kedua orang tuaku, yang menyewa kamar didekat kamar Iwan. Ya, aku ingat, makam kedua orang tuaku memang bersebelahan dengan makam Iwan. Iwan mengajak mamahnya berobat ke klinik dokter Rahmat. Aku tau, dokter Rahmat dimakamkan di TPU yang sama. Hari mulai sore, Iwan menyuruh mamahnya untuk pulang. Tapi bulik menolak, dengan alasan masih kangen dan ingin merawat Iwan. Bulik juga rindu dengan kedua orang tuaku, dan tetangga yang sekian lama tak bertemu. Tapi akhirnya bulik pulang, karena kedua orang tuaku bilang, kasihan Lala Kalau sendirian. Saat menelusuri lorong demi lorong, bulik banyak mendengar suara tangisan. Semua sudah masuk kedalam kamar saat adzan maghrib berkumandang.
Sesampai nya dipinggir jalan raya, bulik melihat banyak anak kecil bermain diatas pohon, mereka semua memandang kearah bulik dengan tatapan iba, seakan meminta untuk digendong. "Bulik mimpi barusan?" tanyaku dengan memegang erat tangannya. Karena aku tau, bulik baru saja melakukan perjalanan ghaib. Aku bersyukur, bulik pulang. "Iya," jawabnya singkat, dengan tatapan kosong. "Terus, kemarin malem kenapa bulik nangis?" Akhirnya ada kesempatan, untuk menanyakan hal ini. Bulik hanya terdiam, dan membelakangiku untuk melanjutkan tidurnya.
close