Cerpen Suami Tidak Tahu kalo Istri Bos-Nya

SUAMIKU TIDAK TAHU KALAU 
AKU ADALAH BOS DI TEMPAT KERJANYA 

#akulah_bos. 
(Untuk yang sudah baca, bisa skip) 
"Istrimu kerja apa, Fer?" tanya Majid, dia adalah rekan kerjaku di restoran mewah ini. Kebetulan aku bisa masuk ke sini tepat ketika akan menikah. Hanya orang-orang tertentu yang bisa menjadi karyawan. "Hanya mengurus rumah, mana mungkin dia bisa bekerja. Orang hanya lulusan SMK, mana pemasaran lagi. Jangankan kerja seperti orang lain, jualan online aja selalu sepi," jawabku menggebu. Begitulah Maura, dua terlalu sibuk rebahan di kamar sampai tidak tahu bagaimana caranya menjadi seorang wanita karir. Jika bukan karena orang tuaku yang menyayanginya, mungkin sudah lama kutinggalkan. Delapan tahun lalu aku dipaksa menikah dengannya ketika umurku baru menginjak dua puluh tiga tahun dan dia sembilan belas tahun. Dulu, aku hanyalah pengangguran selalu berdiam diri di rumah. Apalagi orang tua serba kecukupan, jadi tidak usah pusing-pusing mencari pekerjaan. 

Karena orang tuaku mendesak untuk menikah, tepaksa kuterima. Setelah lamaran, aku mendapatkan tawaran dari Majid untuk bekerja di restoran ini. Hanya saja sampai sekarang kita tidak tahu siapa pemilik aslinya. Selama ini kita yang mengurus semuanya dan uang akan ditransfer ke rekening restoran, tapi kartu atm-nya ada di Bos. Jadi sampai sekarang masih menjadi misteri. "Banyak loh anak SMK di luaran sana sukses," ucapnya sambil menyeruput kopi hitam. "Entahlah." Aku menjawab enggan. Karena orang tua Maura sendiri mengatakan kalau anaknya tidak bekerja. Hanya seorang pengangguran yang suka berdiam diri di kamar, bahkan keluar pun bisa dihitung.

Mana ada sih orang yang pemalas jadi sukses? Bisa sih, dalam mimpi. "Apa mungkin kalian sedang program hamil?" tanyanya membuatku tersentak. Aku gak ada biaya untuk melakukan program semacam itu. Meskipun orang tua kita mampu, tapi tidak mungkin mereka mau ngasih. Anak satu saja sudah banyak biaya, apalagi kalau nambah, yang ada nanti kepala sering sakit. "Enggaklah, anak satu sudah cukup." Aku menjawab dengan santai. "Emang gak mau punya anak lagi?" tanyanya membuatku heran, kenapa dia jadi tertarik dengan urusan pribadiku? Biasanya gak pernah. "Kayaknya enggak." Kucoba untuk menjawabnya dengan santai. "Sayang banget, katanya banyak anak banyak rezeki Fer." ucapnya sok tahu. Itu hanya mitos, kalau gak kerja ya mana mau dapat duit. Mungkin yang ada kepalaku akan pusing setiap waktu kalau punya anak banyak. 

**** Hari ini restoran sangat ramai dan dapat enam puluh juta, padahal ini baru jam lima. Jam kerjaku hanya sampai sore, itu karena dari pagi. Sementara Majid dari jam dua sore sampai tutup sekitar jam sembilan atau sepuluh malam. Uang pun langsung aku bawa pulang ke rumah, besok akan langsung ditransfer ke bank. Kalau di rekeningku saldonya mencukupi, biasanya aku langsung transfer. Tapi sekarang sedang kosong, kemarin aku bagus habis jalan sama teman-teman kampus dulu. "Kamu sudah pulang, Mas?" tanya Maura tersenyum sambil menunjukkan gigi gingsulnya. "Aku sekarang ada di depan matamu, berarti sudah pulang!" ucapku geram. Entah kenapa ketika melihat Maura, hawanya itu gak enak. "Hanya tanya, Mas." ucapnya sambil tetap tersenyum dan menuangkan air untukku. "Enggak usah tanya-tanya yang tidak penting!" "Ya sudah, mau makan atau mandi dulu?" tanyanya lagi. Kayanya tidak usah, tapi dia kembali bertanya. Padahal aku bisa memutuskan sendiri, tanpa ia bertanya begitu. Tanpa menjawab, aku pergi begitu saja untuk menyimpan uang restoran, dan mandi. Andai saja Maura juga kuliah, mungkin kalau bekerja pun enggak akan jadi babu. Ah, sangat memalukan punya istri seperti dia yang hanya tamatan SMK. "Kamu kenapa dulu gak kuliah?" tanyaku pada Maura dengan kesal. Aira, putri kami yang sedang makan dengan lahap menatapku heran. "Kenapa Papa tanya gitu sama Mama?" tanyanya tak suka. "Kan Papa hanya bertanya, Kak." Aku mengembuskan napas kasar. "Iya, Kakak tahu. Tapi kan nadanya gak usah begitu juga. Kuliah atau tidak, itu sudah menjadi pilihan Mama. Papa gak berhak untuk memutuskan atau pun menilainya dari luar," ucapnya membuatku emosi. "Kamu jangan tidak sopan sama Papa! Ingat, kalau bukan karena Papa yang kerja, kamu tidak akan bisa bersekolah di tempat elit!"
close